KESETIAKAWANAN DENGAN ORANG MISKIN

0
2303
  1. YESUS: KESETIAKAWANAN TUHAN

Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, setiakawan (solider) dengan manusia yang berdosa agar dengan melihat dan meneladan Dia, manusia juga bisa bangkit dan bebas dari dosa. Memang Allah bisa saja memakai cara lain untuk menebus manusia, namun dia memilih cara setia kawan karena Dia begitu mengasihi dan menghargai manusia yang diciptakan sebagai citraNya dengan kehendak bebas. Dia ingin agar manusia sendiri dengan bebas mau meninggalkan dosa dan memilih untuk mengasihi dan mengikuti Allah dan kebenaran.

Walaupun kenyataan Yesus sebagai Putra Allah menjadi manusia itu sudah merupakan bentuk solidaritas, namun sebagai manusia Yesus juga mau belajar untuk setiakawan. Menarik sekali dalam injil Yesus justru belajar kesetiakawanan dari perempuan yang waktu itu dipandang rendah, nyaris tak dipandang sebagai manusia. Pertama, Dia belajar kesetiakawanan dari ibuNya. Kita bisa mengandaikan Maria banyak mengajarkan kesetiakawanan itu semasa Yesus dalam asuhannya. Namun Injil mencatat Maria mengajarkan itu ketika Yesus sudah dewasa dalam Perjamuan Nikah di Kana (Yoh 2:1-11). Maria mendesak Yesus untuk peduli kepada pengantin yang kehabisan anggur walaupun Yesus mengatakan saatNya belum tiba. Yesus mendengarkan ibuNya yang meminta para pelayan untuk mendengarkan Yesus. Kedua, Yesus belajar dari perempuan Siro Fenesia yang rendah hati (Mrk7:24-30), sehingga Dia memperluas kesetiakawanan Nya sehingga tak terbatas hanya bagi orangYahudi sebangsa-Nya.

 

  1. KESETIAKAWANAN ORANG MISKIN

 Seorang ibu setengah baya menemui saya mohon bantuan untuk sekolah anaknya yang ke lima. Saya tanya suaminya kerja apa. Suami saya sudah meninggal. Jadi ibu dapat pensiun? Ya hanya Rp 124.000,- per bulan karena suami saya dianggap perusahaan BUMN tempatnya bekerja pernah berbuat salah. Lalu bagaimana ibu dapat hidup? Ibu bekerja? Tidak romo hanya mengurus rumah tangga dan momong cucu. Makan sehari hari ya diberi anak saya, tapi mereka juga tidak kecukupan karena harus menanggung hidup keluarga masing-masing jadi tak bisa memberi banyak. Bagaimana ibu masih punya anak yang masih mau SMP? Dengan mata berkaca-kaca dia mengatakan ini anak pungut saya romo (hemm hidupmu sendiri susah, masih mau pungut anak). Saya kenal ibu anak ini orang luar pulau yang kerja sebagai pembantu, dia hamil dan pacarnya meninggalkan dia. Dia datang ke rumah kami mohon menumpang dan bantu momong anaknya yang waktu itu baru usia 6 bulan, agar dia bisa bekerja. Saya tak sampai hati menolak walau rumah kami kecil dan anak saya sendiri empat. Ketika anak ini TK, ibunya sakit parah sampai meninggal, sebelum meninggal dia menyerahkan anaknya ini kepada saya. … Tanpa saya sadari air mata saya mengalir. Saya ingat dalam film Vinsensius anak yang ditemukan Vinsensius di samping jenasah ibunya. Ketika Vinsensius menanyakan kepada penduduk kota yang berkerumun melihat Vinsensius memakamkan ibu tersebut: siapa yang mau memelihara anak ini?, yang maju justru ibu miskin yang sudah punya 3-4 anak. Saya ingat janda miskin dalam injil yang memberikan seluruh nafkahnya hari itu di kotak persembahan. Semua itu kini begitu hidup di depan saya, bahkan nyata di depan saya dalam ibu miskin ini.

Saya bersyukur Tuhan mengirim ibu ini untuk mengajar saya apa artinya cinta dan solidaritas. Dia tidak menyalahkan ibu anak ini yang begitu bodoh mau dihamili, yang tidak mau lapor kepada yang berwajib agar menangkap pacarnya yang tak bertanggungjawab. Dia tidak menyalahkan, tidak menghakimi, namun menerima tanpa perhitungan, walau itu tentu menambah beban keluarganya.

Saya bersyukur karena saya mau menerima dan mendengarkan ibu ini, walau semula dalam hati sudah mau menghakimi dia koq hidup tanpa perhitungan masih punya anak baru mau masuk SMP. Setelah tahu itu anak pungut juga saya mau menghakimi, hidupnya susah koq mau mungut anak. Semua penghakiman dalam hati itu gugur satu demi satu mendengar “kepahlawanan” ibu ini. Ada rasa malu juga karena saya sering penuh perhitungan agar kemapanan hidup saya tidak terganggu. Sungguh benar teladan Yesus bahwa cara terbaik belajar setiakawan adalah dari orang miskin.

 

  1. KESETIAKAWANANDENGANORANGMISKIN

Belajar dari orang miskin menyadarkan saya bahwa karya amal sosial bukan sekedar “proyek” dengan segala perhitungan rasional, namun harus disertai dengan kesetiakawanan. Kesetiakawanan akan mengubah saya sendiri dan orang miskin secara mendalam. Kesetiakawanan adalah wujud nyata kasih kepada sesama. Tanpa kesetiakawanan karya amal kita sebenarnya bukan wujud kasih, karena kita hanya melihat orang miskin sebagai obyek, bukan sebagai sesama: manusia yang punya perasaan, pikiran, dan martabat seperti kita. Kesetiakawananlah yang mengubah proyek amal kita menjadi karya penebusan, seperti karya Yesus yang menjadi sesama bagi kita, agar kita menyadari keluhuran kita sebagai manusia, sehingga mau bertobat dan berubah kembali sebagai citra dan anak Allah yang terkasih.

Melihat keluhuran martabat orang miskin dan sifat-sifatnya yang mulia tidak menutup mata kita terhadap belenggu belenggu dosa yang menyebabkan akar kemiskinan mereka, yang melumpuhkan karakter kemanusiaan mereka yang seharusnya bisa kreatif berpikir. Seringkali orang miskin pasrah dengan nasib mereka, kurang kreatif berusaha untuk meningkat kesejahteraan mereka, kurang (berani) berpikir panjang untuk masa depan anak-anak mereka. Mereka juga punya cita-cita , namun mudah menyerah, termasuk untuk mengusahakan pendidikan yang baik bagi anakanaknya.

 

  1. KESETIAKAWANANYANGEFEKTIF

Kesetiakawanan sejati tak sekedar menerima dan menemani, namun kepedulian nyata untuk mengusahakan perbaikan hidup dari kawannya. Kalau kita setiakawan dengan orang miskin kita juga harus peka dan peduli dengan permasalahan mereka, serta mengusahakan perbaikannya, alangkah baiknya bila perbaikan itu dapat mereka lakukan sendiri lewat bantuan kita.

Sudah beberapa tahun Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi paroki Kristus Raja mempunyai beberapa sub seksi: karitatif, kesehatan, wirausaha, koperasi(CU). Karitatif tetap diperlukan untuk orang miskin yang sungguh tak berdaya, seperti yang rumahnya hampir ambruk atau atapnya jebol, tapi tak punya uang ntuk memerbaiki, kami membantu biayanya. Kadang juga minta umat yang tukang atau pemborong untuk memerbaiki dengan biaya hemat. Kesehatan jelas sangat dibutuhkan maka poliklinik paroki buka setiap hari pagi sore dengan biaya murah. Cukup banyak dokter yang melayani dengan honor kecil. Wirausaha kami dirikan agar orang miskin terbantu untuk berusaha: tanam jamur, rajut, tanam jahe merah dll. CU dimaksudkan agar orang miskin yang punya pekerjaan atau usaha kecil terbantu menata keuangannya. Selain itu ada Seksi Pendidikan yang memberikan bantuan biaya pendidikan, termasuk mengusahakan agar setiap anak katolik bisa bersekolah di sekolah katolik dengan bekerja dengan sekolah katolik. Paroki sadar bahwa sekolah katolik harus membiayai dirinya sendiri, karena itu seraya memohonkan keringanan biaya, paroki juga membantu biaya agar orang miskin tetap membayai termasuk uang pangkalnya.

Kami sadar berbagai “lembaga” yang didirikan harus terus menerus berbenah diri untuk memberi kesetiakawanan yang efektif. Yang pertama kami dan mereka yang berkarya di lembaga tersebut harus terus menerus membangun kesadaran bahwa karya itu pertama-tama adalah bentuk kasih atau kesetiakawanan, bukan sekedar “proyek” tanpa hati. Memang tidak gampang karena sering kali refleksi dan urusan rohani terdesak oleh soal-soal praktis, aspek refleksi atau rohani sering kurang mendapat waktu. Bila semangat kesetiakawanan ini terpelihara, maka pelayanan akan sungguh didasari oleh kasih dan kreatif menumbuhkan yang dilayani dan kita yang melayani.

Artikel ini ditulis oleh Rm. Antonius Sad Budianto CM, Pastor Kepala Paroki Kristus Raja, Keuskupan Surabaya.  Artikel ini diambil dari Buletin Kevin Januari – April 2015, hlm. 9-12.