Pada tanggal 31 Agustus 1935di Arezzo, Italia, Silvano Ponticelli lahir. Pada tanggal 1 September dipermandikan. Kelahirannya menandai kegembiraan yang amat sangat besar bagi keluarga.
Silvano adalah putra kedua (kakak perempuannya yang sangat cantik bernama Liliana; adik laki-laki bernama Domenico). Ayahnya bernama Lorenzo Ponticelli dan Ibunda tercinta bernama Rosa del Corto. Keduanya adalah petani desa. Sebagai seorang anak laki-laki tertua (walaupun yang kedua dalam keseluruhan), Silvano menjadi “harapan” bagi keluarga.
Tempat Silvano Ponticelli tinggal merupakan sebuah desa kecil yang bernama Viciomaggio, kira-kira 6 km dari kota Arezzo, yang amat terkenal karena menjadi asal kota dari Guido Arretino, tokoh musik yang menciptakan “Himne St. Yohanes” yang kemudian menjadi “do re mi fa sol la si do”. Kelak Romo Ponti akan kerap mengidentikkan kota Arezzo dengan sang tokoh musik tersebut. Romo Ponti sendiri diakui secara pribadi oleh almarhum Romo Valentino Bosio sebagai sosok yang pintar menyanyi. Dalam banyak kesempatan kepintaran itu nanti akan banyak “dibuktikan” dengan kehebatannya menyanyikan salah satu “lagu wajib” Italia, Santa Lucia, yang oleh para seminaris dan frater-frater secara naif kerap dinyanyikan dalam misa pada waktu pesta Santa Lusia (pasti tanpa tahu artinya!). Mendengar itu, Romo Ponti selalu merasa geli, karena lagu Santa Lucia bukan menunjuk kepada orang kudus Santa Lusia, melainkan nama sebuah desa indah di Italia Selatan.
Tanggal 6 Oktober 1951 merupakan hari Romo Ponti diterima di dalam CM di Siena. Bagaimana Romo Ponti mengenal CM, kisahnya tak ubahnya seperti sebuah kisah klasik panggilan. Ketika masih kecil, pada waktu SD (1941-1946), di desanya kedatangan seorang imam baru yang baru ditahbiskan, namanya Romo Luigi Franci CM, yang adalah sepupu dari sang ayah sendiri. Melihat Romo Franci, Silvano kecil berkata kepada ayah ibunya bahwa dia kelak ingin menjadi seperti Romo itu. Ayah ibu-nya mengacuhkannya, karena Silvano terlalu kecil untuk menentukan masa depannya. Tetapi, Silvano adalah anak pintar. Dia mengatakan keinginannya kepada Suster yang mengajarnya di SD. Nama Suster itu Sr. Amelia Morandi,seorang Suster dari kongregasi Santa Marta yang berkarya di desanya. Saya pernah diajak ke komunitasini oleh Romo Ponti yang dengan gembira selalu mengingat jasa indah dari salah satu anggotanya, Suster Amelia, kepadanya. Suster Amelia-lah yang penuh semangat menunjukkan ke Silvano kecil dan menunjukkan ke mana dia harus pergi. Silvano pergi ke Sekolah Apostolik di Roma, yang merupakan milik CM (1946). Belakangan saya tahu, bahwa Suster dari Santa Marta memiliki rumah pusat di Roma yang berdampingan dengan Collegio Leoniano, tempat Romo-Romo CM berkarya di Roma. Romo Luigi Franci CM sendiri (yang adalah paman Silvano) kelak menjadi provinsial CM Roma.
Tahun 1956 Frater Silvano mengucapkan kaul-kaul kekal. Tanggal 23 Desember 1961 adalah hari penuh rahmat bagi Frater Silvano Ponticelli CM. Di hari itu ia menerima Sakramen Imamat. Mudah dibayangkan, hari itu penuh rahmat juga bagi keluarga tercinta. Silvano berasal dari keluarga yang taat beribadah. Kebetulan Gereja paroki di desanya juga tidak terlalu jauh. Romo Silvano Ponticelli CM menjadi kebanggaan juga bagi paroki desanya. Kelak, Romo parokinya juga dalam beberapa kesempatan mendukung karya misi Romo Ponti (demikian dipanggil di Indonesia, bukan Romo Silvano!) tidak hanya dalam doa tetapi juga bantuan finansial. Saya sempat menyaksikan bagaimana umat paroki desanya diajak untuk bangga dengan mengingatnya dalam doa dan juga sumbangan sedapatnya. Dari kesaksian ini, yang “misioner” bukan hanya Romo Ponti CM tetapi juga umat paroki, tempat asalnya. Dukungan tulus dari umat dan keluarga ini kelak juga membuat Romo Ponti merasa “tak kekurangan” apa pun dalam karyanya di Indonesia.
Upacara misa perdana menjadi pesta keluarga paroki desa kecil-nya. Silvano Ponticelli CM anak desa kecil Viciomaggio kini telah menjadi tokoh Gereja. Dan, seiring dengan tahun-tahun pertama sesudah ditahbiskan, semangatnya untuk pergi ke misi makin bernyala.
Sesudah ditahbiskan Romo Ponti mendapat tugas mengajar di Collegio Alberoni, Piacenza (1962-1964), dan studi lanjut di Alfonsianum (1967-1968). Kelak Romo Ponti akan mengingat pengalaman studinya sebagai “berkah dan hukuman” sekaligus. Disebut “berkah”, karena ia belajar di bawah bimbingan seorang tokoh hebat dalam teologi moral dunia, yaitu Profesor Bernard Häring CSSR. Romo Ponti menyebut pengalamannya studi itu sebagai “hukuman”, karena ketika tugas di paroki Ponorogo (1968-1980) dan Tulungagung (1980-1986), ia membutuhkan “keahlian” yang berbeda dari apa yang dipelajarinya dengan tekun dalam teologi selama tahun-tahun studi imamatnya.
Keahlian itu berhubungan dengan mekanik motor, mobil dan seterusnya, yang apabila mogok dalam perjalanan, Romo Ponti benar-benar tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Dia sharing, kenapa dulu tidak belajar montir saja, dan kenapa dulu dia susah payah belajar bahasa Yunani yang tidak dia gunakan pada waktu menjadi imam? Kami para frater yang mendengarnya kerap kali tersenyum karenanya.
Kelak ketika dia mengajar STFT Widya Sasana selama beberapa saat untuk mata kuliah bahasa Yunani, Latin, dan Filsafat Renaissance, penyebutan gelarnya ialah Romo Silvano Ponticelli, CM, Lic. Teol (singkatan dari: Licensiatus Teologiae). Entah karena apa, dia kerap “membelokkannya” menjadi “Lic. Telo!” Dengan mengatakan itu, semua mahasiswanya tersenyum setiap kali dia menyebut dirinya demikian. Tahun 1967-1968, Romo Ponti menjadi Directur (rektor) Convictori atau romo-romo projo yang studi di Roma dan tinggal di Collegio Leoniano.
Misi Romo Ponti ke Indonesia memiliki latar belakang kebutuhan konkret Gereja semacam ini. Mgr. Klooster sangat mengharapkan bantuan romo-romo CM dari Italia. Perlu diketahui, Italia dan Belanda selalu “bermusuhan”. Dalam hal sepakbola, maksudnya! Maka, permintaan Mgr. Klooster (orang Belanda) ditanggapi dengan “strategi” a la Catenaccio (rantai) dalam sepakbola oleh romo-romo Italia. Maksudnya demikian. Dalam sepakbola, Belanda kerap identik dengan “total football”, dan Italia terkenal dengan pertahanan dirinya yang kokoh, namanya Catennaccio.
Romo Ponticelli CM menjadi pionir “Indonesianisasi” karya misi dan kehadiran Romo-Romo Italia. Salah satu dari alasan yang disebutkan adalah untuk menghindari “dua” komunitas provinsi CM dalam satu keuskupan. Tetapi, dari sejarah “Indonesianisasi” karya misi, hal yang semacam ini juga menjadi pengalaman dari para misionaris Belanda. Seiring dengan ini, para Romo misionaris Italia, termasuk Romo Ponti menjalani proses naturalisasi. Romo Ponti pun menjadi warganegara Indonesia, dengan nama “Wonoraharjo”. Ada sedikit permainan kata dalam nama ini. “Wono” dalam bahasa Jawa artinya “hutan”, halnya sama dengan “Silvano” yang dalam bahasa Italia berarti “hutan kecil”. Kelak, halnya bukanlah permainan kata, melainkan Romo Ponti memang benar-benar masuk ke relung kedalaman hutan cinta di umat Indonesia. Salah satunya, bukan ditunjukkan
dengan cinta akan makanan Indonesia atau kalau bepergian ke Italia untuk berlibur mesti naik Garuda Indonesia (waktu itu), bukan hanya itu, melainkan kecintaannya pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia Romo Ponti terbilang bagus. Dan, dengan bekal itu pula Romo Ponti menerjemahkan surat-surat dan konferensi dari Santo Vinsensius yang dihimpun oleh Pierre Coste CM dari bahasa Perancis. Di antaranya, sebagian kecil dari terjemahan itu kita nikmati dalam buku ini.
Tahun 1968 – 1980 adalah tahun-tahun Romo Ponti mengabdi wilayah “Reog”, Ponorogo. Lebih dari wilayah tugas, Ponorogo adalah “cinta pertama” Romo Ponti pada umat Indonesia. Segala “kisah cinta”-nya menjadi legenda misioner di wilayah tersebut dan menjadi milik umat. Disebut demikian, bukan karena cerita Romo Ponti, melainkan karena kisah-kisah umat yang merasa mendapat sentuhan pelayanan seorang gembala yang mereka cintai dan mencintai mereka, Romo Ponticelli. Tidak hanya Romo Ponti, melainkan juga beberapa Romo Italia diantaranya Romo Fornasari dan para Romo yang lain.
Ketika di Ponorogo, Pacitan, Klepu, Slahung dan seterusnya (1968-1980) menjadi wilayah kerjanya, Romo Ponti sendirian tetapi kemudian dibantu oleh Romo lain, diantaranya juga almarhum Romo Urotosastro Pr. Menurut kesaksian dari anak-anak dan mudika pada waktu itu, Romo Ponti telah “mengubah” wajah pastoran, Gereja. Dalam arti, pastoran dan gereja menjadi “rumah kedua” bagi mereka. Banyak di antara mereka saat ini menjadi biarawan-biarawati, tokoh-tokoh masyarakat, Gereja pengusaha, guru, wartawan, dosen, dan seterusnya. Pembawaannya yang bergaya “mafioso”, “sangar”, tetapi suka senda gurau dan ramah serta santun, membuat Romo Ponti mudah diterima dimana pun. Dia bahkan juga ambil bagian dalam tim sepakbola muda/i disana.
Kecintaan Romo Ponti kepada orang miskin sangat menonjol. Saat-saat masyarakat mengalami kesulitan karena kekurangan pangan, dia berusaha keras untuk mendatangkan bahan-bahan makanan. Dan, kelak hal yang semacam ini juga menular kepada anak-anak dan kaum muda yang saat ini telah menjadi dewasa dan orang-orang sukses dan terpandang di masyarakat. Mereka pun berusaha untuk memperhatikan saudara-saudaranya yang kurang beruntung.
Saking cintanya kepada Ponorogo, Romo Ponti hampir selalu mengulang-ulang keinginannya bahwa kelak jika nanti ajal menjemput, ia ingin dimakamkan di salah satu stasi Ponorogo. Tentu saja, kami para konfrater lebih menggarisbawahi rasa cintanya, daripada perkara pemakamannya!
Setelah Ponorogo, Tulungagung (1980-1986) adalah wilayah kedua yang amat dicintainya. Seperti di Ponorogo, dia membina pula guru-guru dan mengembangkan sekolah. Romo Ponti-lah yang ikut membeli tanah, membangun gedung SMA Katolik St. Thomas Tulungagung, dan seterusnya. Kecintaannya di bidang pendidikan menjadi salah satu contoh penyatuan dirinya dalam misi Romo-Romo CM di keuskupan Surabaya.
Satu dua jabatan struktural dalam komunitas diembannya: Tahun 1982-1984, Romo Ponti menjadi Superior Domus Kediri. Tahun 1982-1988, ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Provinsi Indonesia. Kelak dia juga akan menjabat lagi tahun 1999-2005.
Periode setelah Ponorogo-Tulungagung bagi Romo Ponticelli CM adalah benar-benar periode baru dalam karya misinya di Indonesia. Dia diminta untuk masuk ke dalam wilayah karya pembinaan para calon imam CM. Ketika studi di Roma, saya sering berkunjung ke rumah kakaknya di Bativolle, Arezzo, sang kakak ipar satu dua kali menanyakan tentang tugas Romo Ponti di seminari dengan nada “agak mengawatirkan”. Saya lantas menang-kap, bahwa bertugas di seminari memang bukan “pekerjaan” misioner yang diharapkan oleh Romo Ponti. Meskipun mungkin bukan keluhan, tetapi sebagai kakak pastilah merasakan “perubahan” suasana hati dari Romo Ponti.
Tahun 1986-1995 Romo Ponti menjadi rektor Seminari Tinggi CM Indonesia di Malang sekaligus Superior Domus Malang. Tugas di Seminari Tinggi CM pada tahun-tahun awal merupakan jalan salib baginya. Selama dua belas tahun di Ponorogo plus enam tahun di Tulungagung, Romo Ponti hampir setiap hari mengunjungi umat, bertemu dengan mereka, melakukan pelayanan dengan giat. Kini, dia harus “tinggal di rumah” Seminari bersama-sama dengan para frater yang di sana sini sering “nakal” juga. Untuk kerasan di seminari meru-pakan sebuah perjuangan tersendiri. Bukan per-juangan yang ringan untuk “setia” tinggal di Semi-nari. Tetapi, Romo Ponti melakukan tugasnya de-ngan sangat indah. Dia “membunuh” waktu-waktunya dengan giat mempelajari Santo Vinsensius.
Yang mula-mula dia kerjakan ialah menata kepustakaan Vinsensian yang dimiliki oleh perpustakaan CM Langsep. Buku-buku Pierre Coste yang rusak, aneka buku dan terbitan tentang Vinsensius dibenahinya dan dijilid ulang. Saya termasuk frater yang ikut sibuk membantu dia dalam hal ini.
Setelah itu, dengan sangat tekun dia menerjemahkan artikel-artikel pilihan mengenai sejarah Vinsensius. Ketika Romo Ponti datang ke seminari, menggantikan Romo Victor Bieler CM sebagai rektor, sudah terbit dua edisi Majalah atas inisiatif para frater ketika itu (Prio, Parmono, Astanto, Eko Prasetyo, Marsup, dan Armada), bernama Serikat Kecil. Majalah sangat sederhana dan terbit sebagai sebuah stensilan. Adalah Romo Ponti yang dengan semangat mendorong agar Serikat Kecil dicetak saja. Dan, tidak hanya itu, dia juga sangat rajin menerbitkan karya-karya terjemahannya. Biasanya, Romo Ponti menolak untuk dituliskan namanya sebagai penerjemah atau penyadur (karena dia tidak mau dikenal). Dan, begitulah karya-karya kecil itu terus berkembang, dan bersama dengan dia, kami menerbitkan Seri Vinsensiana, yang menjadi sumbangan kecil untuk pendalaman spiritualitas Vinsensian dalam bahasa Indonesia. Dari ketekunan Romo Ponti-lah kini kita seolah bisa langsung bersentuhan dengan ucapan, kata, dan konferensi Santo Vinsensius.
Romo Ponticelli dan Misi Umat. Sesungguhnya ide pertama misi umat tidak datang secara personal dari Romo Ponti. Pada waktu itu, atas inisiatif para frater (dalam rapat komunitas), kami merenanakan untuk melakukan live in sebagai kegiatan mengisi liburan (Juni-Juli). Dipilihlah tempat untuk live in di paroki Pare. Para frater disebar di rumah umat (terutama di stasi-stasi), tinggal bersama mereka, membantu bekerja bersama mereka, dan mengalami hidup sehari-hari bersama mereka. Selama satu minggu. Dari evaluasi yang didapat, ternyata pengalaman live in itu sangat positif.
Nah, mendengar evaluasi tersebut, Romo Ponti berkata, “Mengapa kita tidak melakukan katekese kepada umat sebagai semacam Misi Umat …
seperti zaman Vinsensius?!” Maka, tahun berikutnya (jika tidak keliru menyebut 1998) Misi Umat yang “pertama” dikerjakan di stasi Klepu, Ponorogo! Frater Eko Prasetyo dan saya bertugas “menggali” kira-kira seperti apa skema, strategi, cara berkatekese, kunjungan, acara harian (ordo diei) misi umat di zaman Vinsensius. Dalam konteks ini pula studi Vinsensian di antara para frater menjadi makin “ramai,” banyak diskusi dan perdebatan. Eko Pras (sekarang bertugas di Cina) bahkan membuat skripsi yang berkaitan dengan misi Vinsensian, kali ini Missio ad Gentes di Zaman Vinsensius. Kami berdua menulis Popular Mission di majalah Serikat Kecil dan Jurnal Mahasiswa STFT Widya Sasana, Forum. Frater Eko Pras mengusulkan nama Misi Rakyat (sebagai terjemahan dari “popular mission”), tetapi Romo Ponti dan kami mempertahankan istilah Misi Umat karena pertimbangan konteks Indonesia. Pada waktu itu, kami berdua adalah ketua kelompok misi, yang biasanya selalu dibagi menjadi “dua” kelompok! Sampai beberapa tahun awal misi umat “dua” kelompok itu masih dipertahankan sebagai strategi untuk membagi diri dan melakukan persiapan-persiapan latihan katekesenya.
Karya itu kini bukan hanya menjadi kegiatan di saat liburan, tetapi menjadi kontribusi penting bagi Gereja Indonesia, karena karya itu telah berkembang bahkan hingga ke keuskupan Banjarmasin, Jakarta, disamping Surabaya. Ketika itu, Romo Ponti menjadi semacam “man behind the gun” (dalam arti positif, dialah “roh” dan semangat dari para frater untuk mengembangkan bentuk-bentuk katekese umat). Kini karya Misi Umat telah diberkati Tuhan dengan banyak ide dan imaginasi yang kreatif dari para pelanjutnya, baik para frater maupun Romo direkturnya.
Disamping terjemahan karya-karya Vinsensius dan Misi Umat, Romo Ponti juga mendorong terbentuknya Konferensi SSV di Seminari CM dan di beberapa tempat yang lain. Kecintaan Romo Ponti akan karya SSV diwujudkannya dengan usaha tanpa kenal lelah untuk membangkitkan dan menghidupkan Dewan Daerah Malang bersama beberapa tokoh, seperti Pak Susanto (dari Ngrejo), Almarhum Pak Herman (mantan kepala sekolah SMP Frateran?), Ibu Afiar dari Jember, dan banyak yang lain. Frater-frater pun tidak ketinggalan untuk dilibatkan dalam karya awam Vinsensian ini.
Apabila kita menghitung jasa-jasa Romo Ponticelli CM, pastilah terlalu banyak untuk didaftar. Yang jelas amat dirasakan oleh para murid Romo Ponti adalah kehadirannya yang demikian penuh semangat dan gembira. Dia juga tiada henti menghadirkan kesegaran karena gayanya yang suka “menggoda” dan bergurau secara sehat membuat siapa pun merasa disapa dan diperhatikan. Kehadirannya yang hangat adalah bawaan sebagai orang Italia Tuscano, yang “ramai” dan kaya kreativitas. Ungkapan yang paling sering dikatakan mengenai Romo Ponti ialah kehadirannya “mencairkan” suasana. Kotbah dan konferensinya singkat, mendalam, dan selalu merujuk ke Vinsensius.
Episode hidup dan karyanya yang berkaitan dengan pembinaan imam tidak selesai ketika dia bertugas di paroki kembali baik St. Vincentius Malang maupun Kristus Raja, Surabaya. Kecintaannya pada karya pembinaan imam melekat secara mendalam dalam setiap kehadirannya.
Tahun 2000-2006 Romo Ponti mendapat “wilayah kerja” baru. Ia diminta menjadi Direktur para Suster Puteri Kasih Provinsi Indonesia. Suster Anna PK, mantan Visitatrix pada periode itu, menguraikan secara indah bakti dan kesederhanaan kehadiran Romo Ponti dalam tulisannya “Salam kepada Romo Ponticelli CM”. Semua Suster merasakan kehadiran yang menampilkan kehadiran Tuhan yang menyapa. Bukan hanya dalam konferensi, doa bersama, atau kesempatan retret, tetapi juga dalam kegembiraan dan ketulusannya menemani mereka bahkan di saat-saat “tidak berkotbah” pun. Pada tahun 2008 sebagai pastor pembantu Paroki St. Vincentius Malang dan pembina di seminari Langsep, Romo Ponti memasuki tahun-tahun penuh rahmat “yang lain.” Keterlibatannya di paroki pelan-pelan berkurang seiring dengan keterbatasan kesehatannya. Tetapi keteguhan dan kedisiplinannya sebagai seorang imam Vinsensian yang mencintai panggilan dan perutusan tidak meredup sedikit pun. Dia saat ini tetap giat melakukan terjemahan-terjemahan surat dan konferensi Vinsensius. Romo Ponti mungkin bisa lupa akan nama-nama sahabat dan umat yang dulu pernah akrab, tetapi dia tidak lupa akan banyak istilah bahasa Perancis yang terus digumulinya hingga sekarang. Ada ribuan surat dan konferensi Santo Vinsensius; dan Romo Ponti mungkin baru menerjemahkan satu dua ratusan saja. Tetapi, dari karya terjemahannya-lah, kini, kita seolah mendengar konferensi dan surat-surat rohani dari Vinsensius sendiri. Kini di tahun 2024, Romo Ponti berusia 89 tahun, terbaring sakit di Provinsialat dan tetap menampilkan sinar wajah yang penuh iman, harapan, dan kasih. Dia menjadi misionaris Italia terakhir yang masih bersama kita para konfraternya di Indonesia.
– Rm. FX Armada Riyanto, CM