PULANG

0
63
Perpisahan Rm. Paulus Suparmono, CM dengan para frater di “Holy Name of Mary Seminary”, Kepulauan Solomon.

“Suparmono.., Suparmono, Suparmono, Suparmono”….., demikian teriakan suara para Frater dengan penuh sukacita dan kegembiraan, saat melepas pergi Romo Parmono yang telah menyelesaikan misinya di Solomon Islands. Tubuh ramping  dengan rambut yang sudah banyak memutih itu beberapa kali diangkat ke atas oleh para frater dengan tawa dan senyum. Mereka sepertinya ingin mengatakan “tagio Tumas Patere” yang telah melayani kami dengan sukacita selama delapan setengah tahun lebih. Kendati, para frater   sepertinya merasa kehilangan, tetapi mereka juga bangga karena Romo Parmono telah memberi arti bagi hidup mereka dengan memberikan diri dalam formasio calon imam di Solomon Islands. Mereka percaya bahwa Romo Parmono mampu  menghadapi  aneka kesulitan bahasa, budaya, dan cara berpikir orang orang Solomon.  Meskipun, para frater merasa kehilangan sosok dan pribadi yang sabar, baik hati dan gemar membantu, tapi mereka juga menghayati kebenaran Injil pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlan Injil.  Mungkin mereka juga ingin  mengemakan semangat St. Vinsensius kepada para misionaris CM yang menghendaki agar  kita diutus   tidak hanya satu paroki, tetapi ke seluruh dunia”.

“Merasa tidak mampu”

Kesediaan Romo Parmono, CM  untuk pergi ke Solomon Islands kala itu,  atas tugas dan perutusan yang diberikan oleh  Rm. Robertus Wijanarko, CM sebagai Provinsial.   “Saya siap pergi dan diutus”. Demikian jawaban Romo Parmono, CM, maka mulailah suatu kisah perjalanan misi dan adventure Rm. Parmono. Mungkin Beliau mengemakan dan menghayati ungkapan Jordan Peterson yang  berkata ” there is a responsible adventure to your life, you are not all you could be and there is pain in that”.  

Mengenang kondisi Seminary, Holy Name of Mary, di Solomon Islands  saat itu kondisinya  tidak baik baik Saja.  Ada rencana misi Internasional di Solomon ditutup karena tidak ada lagi tenaga CM yang ingin mengabdi dan melayani di Solomon Islands. Sementara tenaga lokal saat itu belum siap.  Namun,  kesediaan Romo Parmono, CM membuat suatu yang berbeda. Kendati, beliau memulai tugas dan perutusan dengan perasaan ketidakmampuan, tetapi perlahan tapi pasti Seminary Interdiocesan, Holy Name of Mary mulai bangkit lagi. Kekurangan staff dan formator menjadi tantangan tersendiri,  namun, kehadiran Romo Parmono memberi suasana yang konstruktif bagi Seminary. Tantangan hidup bersama dalam komunitas misi internasional juga dihadapi dengan  tenang oleh Rm. Parmono. Semuanya dapat diatasi dan dilalui dengan baik. Mungkin Rm. Parmono mengamini kata kata Mother Theresa ” Kita diutus bukan untuk sukses tapi untuk setia”. 

“Dimulainya Program Tahun Rohani”

Selama masa kepemimpinan sebagai Rector Holy Name of Mary-Seminary, beliau giat  mendorong para uskup di Solomon Islands agar  serius memikirkan formasio para calon Imam lokal. Bagi beliau, formasio calon imam harus dimulai dari hati yang berani untuk menghayati imamat bukan sebagai tangga untuk menjadi “big man”, tetapi imamat hendaknya seperti dihayati oleh Kristus sendiri yang berani mengosongkan diriNya, memberikan hidupNya untuk melayani daripada untuk dilayani. Dengan kata lain, “imamat bukan lagi tangga untuk mengejar power” melainkan  lebih pada “serving”. Selain itu, beliau dengan semangatnya berdialog dengan para uskup agar dimulainya program Tahun Rohani  sebelum mereka melanjutkan ke Seminary Tinggi. Untuk itu perlu sarana prasarana dipersiapkan dan seleksi masuk  dengan ujian dan interview untuk program Tahun Rohani. Kini program Tahun Rohani sudah berjalan dengan baik dan saat ini dinahkodai oleh Rm. Agus Heru, CM sebagai Direkturnya.  Semuanya ini tentu usaha dan kerja keras dari Rm. Parmono yang terus mendesak para uskup akan pentingnya program Tahun Rohani. 

Menikmati “Adventure” 

Meskipun raut wajahnya mulai tampak tidak muda lagi,  dan  sakit batuk yang tetap akrab dengan beliau,  tetapi semangatnya untuk berjumpa dan melayani  umat di daerah daerah pedalaman dan pulau pulau yang sulit terus dilakukan. Beliau seperti mengemakan kata kata Paus Fransiskus yang mendorong kita untuk memiliki “culture of encounter. Bahwa penting kita berjumpa dengan orang lain, berdialog langsung khususnya orang orang yang terpingirkan. Mendengar bahwa Romo Parmono giat pergi ke daerah daerah terpencil, Bapak Uskup Christopher Cardone, CM pernah berkata demikian ” meskipun sebagai uskup dan sudah tinggal 40 tahun lebih di Solomon Islands, tapi beliau belum pernah mengunjungi pulau Rennel. Akan tetapi tidak demikian dengan Romo Parmono. Kadang kami begitu  cemas dengan kondisi tubuhnya kalau beliau bepergian jauh dan sulit tetapi beliau selalu menikmati dan sukacita berjumpa dengan mereka. Oleh oleh yang selalu dibawakan untuk kami adalah cerita tentang perjumpaan orang orang di kampung atau di Pulau yang dia kunjungi. Mungkin benar  beliau lebih percaya pada Penyelenggaran Ilahi daripada kecemasan kami. Berhadapan dengan kecemasan kami, beliau berkata kepada kami bahwa  saat dia menginjakkan kaki di Solomon Islands pertama kalinya, dia merasa inilah misinya beliau bahkan untuk selama lamanya melayani dan bekerja di Solomon Islands, dia akan selalu siap. Aku hanya diam aja mendengarkan penuturan Romo Parmono.  Mungkin mantan Rector kami itu mengemakan kata kata ini, “Kurang nikmat apa kita hidup di Solomon Islands”. Bukankah kita adalah Vinsensian? Diutus dan pergi kemana saja?. 

Pulang

Kini Romo Parmono kembali ke Indonesia untuk memulai perutusan barunya dengan semangat yang sama pula. Mungkin tantangan dan kesulitannya tidak seperti di Solomon Islands.  “Saya tidak pernah merencanakan semuanya dimana tugas perutusan saya termasuk di Solomon Islands,..Ini semua adalah rencana Allah”. Demikian kata Romo Parmono. Aku  hanya diam saja mendengarkan sharing permenungan Rm. Parmono, Lalu refleksi berkembang  tentang Rene Girard, Jordan Peterson, dan masih banyak lagi pemikir Antropologi, Psikologi dsbnya. Saat itu, saya tidak banyak memberi koment, dan memilih untuk diam menyimak.  Sesekali Romo Parmono bertanya apa pandangan dan pendapatku, tapi  saya memilih untuk menjawab setuju apa yg dikatakan oleh beliau. Tidak terasa pesawat sudah mulai mendarat di bandara Surabaya, Indonesia. Kami bergegas keluar dari pesawat dan menikmati udara Indonesia ” ah…ternyata kurang nikmat apa kita hidup di Indonesia”. Demikian kataku. Namun, Romo Parmono hanya menjawab dengan senyum saja,  sambil memasuki ruang imigrasi. Beliau segara mempersiapkan pasport, mengambil bagasi dan surat declaration. Beliau  sepertinya tampak kagum dengan perubahan dan perkembangan di Indonesia. Ya…maklum Romo Parmono sudah lama tidak pulang ke Indonesia. Sekarang saatnya kembali dan menikmati keindahan dan perutusan baru di Indonesia. Saat dalam perjalanan menuju Kepanjen, Rm Parmono beberapakali mengungkapkan kekaguman akan jalan raya yang sangat berbeda di Solomon Islands. Lalu saya bilang  kepada beliau “ternyata lebih nikmat hidup di Indonesia Romo”. Beliau hanya tersenyum dan tertawa. Mungkin beliau mengemakan penulis asal Italy, Susana Tamara dalam  novelnya ‘ Pergilah kemana hati membawamu”. Selamat pulang Romo Parmono. Teringat kembali teriakan para frater di Solomon Islands “Suparmono, Suparmono, Suparmono”. Namun semuanya menjadi kenangan yang memiliki makna untuk terus melangkah. Terima kasih Romo Parmono atas teladan hidup sebagai misionaris di Solomon Islands.

Kisah ditulis oleh: Rm. Mans Werang, CM (rekan imam Rm. Suparmono selama di Solomom Island)