BEATO JÁN HAVLÍK, CM

0
39

SEMINARIS VINSENSIAN, MARTIR KRISTUS

Foto dan gambar Jan Havlik, diambil dari: https://cmglobal.org/it/2024/08/29/jan-havlik-la-vita-e-le-opere/?fbclid=IwY2xjawFJ3jFleHRuA2FlbQIxMQABHVl5eqsBizmE_BUD0PpjWTxbCQGrUH79BPWtYVpRMrbl9ojw8CdWhVn7qg_aem_55CIHQABLCHz8LYGG1Bgbg. Memperingati beatifikasi Jan Havlik, 31 Agustus 2024.

“Hati Yesus, yang di dalamnya berdiam seluruh kepenuhan keilahian, biarlah aku selalu bahagia bersama-Mu, biarlah hatiku hanya menginginkan Engkau, dan janganlah pernah ada waktu untuk berpisah dengan-Mu… Alangkah baiknya jika semua usaha dan semua tindakanku tertuju hanya kepada-Mu, Tuhan, Allahku”. (Dari Buku Harian Ján Havlík)

Masa kecil di Vlčkovany dan seminari di Banska Bystrica

Ján Havlík lahir di Vlčkovany, sekarang Dubovce, sebuah desa di Slowakia utara, yang berbatasan dengan Moravia. Ia lahir pada tanggal 12 Februari 1928, sekitar sepuluh tahun setelah pembubaran Kekaisaran Austria-Hungaria di jantung Eropa, yang mana saat itu sebuah negara baru telah terbentuk dari persatuan pelbagai etnis seperti Bohemia, Moravia, Silesia, Slowakia, dan Ruthenia Subkarpathia. Keragaman dari etnis-etnis ini, yang kemudian membentuk republik demokratis baru Cekoslowakia, menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka untuk hidup bersama, terutama karena supremasi ekonomi dan politik penduduk Ceko, yang mewarisi sebagian besar industri Kekaisaran Austria-Hungaria, sangat dominan.

Penduduk Slowakia, di sisi lain, kebanyakan adalah petani, akan tetapi mereka lekat dengan budaya religius. Di antara mereka adalah keluarga Ján Havlík. Dia adalah anak tertua dari empat bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan negara dengan gaji yang kecil. Ibunya adalah seorang perawat kebidanan, tetapi pekerjaannya tidak tetap. Pekerjaan tersebut tidak mencukupi, sehingga orang tuanya juga harus bekerja sampingan sebagai petani.

Pada proses beatifikasi putranya, ibunya tidak malu untuk mengungkapkan kemiskinan keluarga mereka: “Ján berjalan-jalan dengan sepatu bot ayahnya yang sangat besar; bahkan mantel yang ia kenakan adalah milik ayahnya. Dan saya tidak bisa melakukan apa-apa dengan 120 Koruna yang saya dapatkan dari pekerjaan saya; berapa kali saya menangis ketika saya melihatnya, berpikir bahwa anak laki-laki lain berpakaian sopan, sementara anak saya terlihat seperti orang yang tidak punya apa-apa”.

Namun, Manzoni (Alessandro Manzoni, penyair Italia, 1785-1873) berkata dalam karyanya “Promessi Sposi”: “Meskipun ada kelaparan, seseorang harus berterima kasih kepada Tuhan, dan merasa bahagia: lakukan apa yang bisa dilakukan dengan tekun, menolong diri sendiri, dan kemudian merasa bahagia. Karena kemalangan bukanlah pergi dan menjadi miskin, kemalangan adalah melakukan yang jahat”.

Jadi, di dalam kemiskinan keluarga ini terdapat kekuatan doa dan kepercayaan kepada Tuhan. Anak-anak berkumpul dalam doa di sekeliling ibu mereka dan menimba darinya semangat religius yang mendalam. Para saksi mata menceritakan bahwa pada saat Ján mengikuti pelajaran katekese, ia bersikap sangat bersemangat namun sedikit kurang disiplin.

Akan tetapi, setelah Komuni Pertama, terdapat sebuah perubahan mendalam pada dirinya dan ini terlihat dalam komitmennya untuk belajar. Setiap hari ia bersepeda sejauh 36 km. Pada awal tahun ajaran baru, atas saran bibi dari pihak ayahnya, Suster Modesta Havlíkova, seorang suster Putri Kasih, Ján masuk ke “Sekolah Kerasulan” (seminari menengah) di Banska Bystrica, Slowakia tengah. Dia berusia 15 tahun saat itu dan segera menyukai para sahabat dan superiornya dengan antusiasme anak muda, yang baginya tampak seperti keluarga baru yang memikatnya dengan kekuatan yang tak tertahankan.

“Malam kaum barbar”

Setelah menyelesaikan ujian sarjana muda, Ján siap memasuki seminarium internum Kongregasi Misi. Dia sudah lama menginginkannya. Pada tanggal 30 Juli 1949, enam orang pemuda masuk bersamanya. Saat itu adalah masa yang penuh dengan semangat rohani. Masa belajar dan tenggelam dalam semangat misionaris Vinsensian: “Ján,” demikian kesaksian ibunya, “ingin menjadi seorang misionaris dan pergi ke Rusia untuk mengajarkan kristianisme kepada anak-anak Stalin”. Pada masa itu komunis yang berkuasa memberlakukan struktur organisasi dan metode komando berdasarkan konsep sentralisme demokratis Lenin. Pada awal 1950, penindasan terhadap Gereja dimulai. Pada malam tanggal 14-15 April, rezim memutuskan untuk menghapus semua tarekat religius. Itu adalah malam yang diberi nama sandi: Aksi K, di mana semua bukti yang terlihat sebagai penentangan terhadap negara akan dihilangkan. Itu adalah masa-masa kelam yang akan selalu diingat oleh bekas negara Cekoslowakia dan rakyatnya, seperti yang didefinisikan oleh Kardinal Ján Korec sebagai “malam kaum barbar”.

Penindasan berlanjut selama lebih dari satu bulan: lebih dari 2.000 religius dan imam dipenjara di tahanan atau pusat-pusat kerja paksa. Pada tanggal 5 Mei 1950, giliran para imam Vinsensian. Seminari ditutup dan Janko (nama kecil dari Ján Havlík), bersama dengan rekan-rekannya sesama novis, kemudian mengalami pengalaman pertama deportasi dan apa yang disebut “pendidikan ulang komunis”.

Mereka dikirim untuk kerja paksa dalam pembangunan “bendungan pemuda” untuk pembangkit listrik tenaga air di Puchov di Slowakia utara. Dalam waktu tiga bulan, karena perlawanan dari para pemuda, partai mengusulkan agar para seminaris bergabung dengan fakultas teologi “Cyril-Methodian” yang baru, yang dibuka di Bratislava, dengan tujuan untuk melatih para imam baru yang setia kepada kekuasaan negara. Janko dan teman-temannya menentukan pilihan: mereka menolak tawaran itu dan kembali ke keluarga mereka.

Seminari klandestin di Nitra

Penolakan ini tidak membuat para seminaris muda Vinsensian takut, beberapa di antaranya, pada awal tahun 1951, setelah diyakinkan oleh Ján dan dengan persetujuan dari para petinggi Kongregasi, memutuskan untuk membuka kembali seminari secara sembunyi-sembunyi. Risikonya sangat tinggi karena pengetatan tindakan penganiayaan. Dengan kecerdikan Janko, sebuah tempat dan buku-buku pelajaran ditemukan. Tempat itu ditemukan di sebuah flat di Nitra, atas saran seorang bibinya, Suster Modesta. Pelajaran teologi di seminari klandestin diadakan pada malam hari di bawah bimbingan Romo Štefan Krištín melalui studi pribadi dan komunal. Pada siang hari, para seminaris memiliki pekerjaan, sehingga mereka tetap dapat menjaga kesan sebagai pekerja biasa.

Ján bekerja di perusahaan milik negara bernama Sitno. Dia melakukan ini selama lima bulan hingga pertengahan Mei 1951, dan berhenti untuk memiliki lebih banyak waktu untuk belajar. Dengan datangnya musim panas, “kelompok Nitra” menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja serabutan di ladang untuk menuai, mengumpulkan jerami, memanen kentang dan buah bit. Pada bulan Oktober, kelompok ini menjalani tahun belajar bersama secara intensif.

Persidangan dan hukuman

Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun, anggota Serikat Pemuda Komunis, memimpin Dinas Keamanan Negara untuk menemukan kelompok klandestin di Nitra. Iklim pengawasan yang diberlakukan oleh rezim terhadap masyarakat membuat anak-anak sekolah menjadi mata-mata yang mengawasi gerak-gerik orang-orang yang mencurigakan. Menjadi seorang informan bukan hanya sebuah tugas, tetapi juga sebuah kehormatan bagi para komunis muda.

Pada tanggal 29 Oktober tahun itu, polisi rahasia menggerebek rumah (Seminarium Internum) dan menangkap semua orang. Sore itu adalah sore yang kelabu, mencerminkan masa depan yang akan dihadapi oleh para seminaris Vincentian. Lima belas bulan penjara yang penuh dengan kekerasan dan penyiksaan menanti mereka di depan pengadilan semu. Saat memasuki penjara, petugas berteriak dengan nada seperti polisi kepada Ján: “Buka baju! Telanjang!” Saat dia telanjang bulat di depan para sipir, dia merasa kepalanya dipukul oleh bungkusan peralatan penjara. Dengan seragam barunya, Ján terlihat berbeda dengan apa yang dilihat oleh Pastor Krištin, yang juga dipenjara di Valdice: “Ján? Jiwa yang lembut, mulia, murni, hati yang peka”.

Dan memang demikianlah yang terjadi: Ján adalah seorang pemuda yang cerdas, menarik, dan selalu tersenyum, atletis, dengan tinggi badan lebih dari 1,9 meter danmemancarkan ketenangan dan simpati. Dia memasuki penjara ”negara progresif” Cekoslowakia sebagai seorang pemuda yang sehat dan keluar dengan kondisi yang sangat lemah hingga tidak mampu berdiri. Saudara laki-laki Ján, Anton, yang juga merupakan bagian dari kelompok klandestin Nitra, memberikan kesaksian: “Janko berada di sel isolasi di sebelah sel saya. Saya mendengar dengan jelas ketika mereka memukulinya: kamu, babi kamu babi, kamu akan masuk penjara dan tinggal di sana sampai mati!”.

Dengan kebrutalan penyiksaan ini, para inspektur bermaksud untuk menghancurkan keseimbangan mentalnya. Di persidangan Ján Havlik mengulangi apa yang telah dia katakan dalam penyelidikan awal: bahwa dia ingin menjadi seorang imam misionaris dalam Kongregasi Misi. Di akhir persidangan, Ján berkata kepada para hakim: “Saudara-saudara, jika ada seseorang di sini yang bersalah, maka itu adalah saya!”. Saudaranya, Anton mengatakan: “Janko berdiri di sana, tampak mulia. Sangat tampan!” Pada akhirnya, dakwaan untuk Ján adalah pengkhianatan tingkat tinggi, yang dijelaskan oleh hakim dengan kata-kata berikut: “Dia adalah musuh sejati tatanan demokrasi-rakyat, yang telah memutuskan untuk berjuang dengan tegas melawan sosialisme”.

Di kamp kerja paksa

Setelah dijatuhi hukuman, Ján dan rekan-rekannya dibawa ke kamp kerja paksa di Jáchymov. Sejak saat itu, tempat tinggalnya adalah barak, parit, terowongan, dan penjara. Ketika petugas yang berjaga memberikan Ján formulir untuk diisi sebelum keberangkatan terakhirnya dari Slowakia, ketika ditanya apa yang menjadi “inspirasi untuk kegiatan ilegalnya”, dia menulis: “Inspirasi untuk kegiatan saya adalah murni religius!” Dan petugas mencatat di sana: “Pelanggaran yang dilakukan: belajar teologi!”.

Itulah sebabnya inisial yang tercetak di berkas hukumannya adalah huruf P kapital untuk menandakan: tahanan “politik”. Dan begitulah dia selalu diperlakukan dalam semua permohonan pengurangan hukuman yang diajukan kemudian, selalu dengan hasil negatif, karena pelanggarannya dianggap sangat berat.

Di blok “C” di mana dia ditugaskan, dia tiba dengan kondisi sangat pucat, lelah, kehabisan tenaga karena kelaparan dan penganiayaan yang dideritanya selama tahap interogasi. Dia diberi nomor A0 11355, yang berarti “tenaga kerja yang dirampas kebebasannya”, yang tak lain adalah budak! Di kamp Jáchymov dan di Příbram, ia dijebloskan ke dalam perut bumi sedalam seribu meter, “diturunkan layaknya seekor monyet ke dalam ember” untuk menggali batu-batu yang kaya akan uranium. Pada saat-saat naik ke atas, di antara gubuk-gubuk, ia berusaha menjadi teman bagi semua orang, memberi semangat, dan membantu dengan kehadirannya. “Di malam hari, ketika kami memiliki kesempatan, di antara barak-barak kami akan berdoa Rosario bersama Janko, dan dia akan menasihati kami: Teman-teman, tanpa Tuhan kalian tidak bisa hidup. Di kamp ini Tuhan menjadi kelihatan di dalam diri kita. Pada akhirnya, cahaya, kehidupan, kebebasan akan menang”.

Meskipun ia tidak pernah menerima tahbisan imamat, ia adalah seorang misionaris sejati. Kondisi kerja yang tidak manusiawi sangat mengganggu kesehatannya. Pada permintaan baru untuk pengurangan hukumannya, ia mendapat penolakan lebih lanjut dengan putusan ini: “Narapidana Ján Havlik, seorang penambang bawah tanah, memenuhi komitmennya 100 per 172 persen. Namun, ia tidak mengakui kesalahannya. Sebaliknya, dia bergerak dalam kelompok orang yang mencurigakan dan mengabaikan kegiatan budaya di kamp. Dan karena hukumannya tidak memenuhi tujuan pendidikan ulang, tidak ada pengampunan yang diberikan”.

Sendirian, sendirian, makin lama makin sendirian

Sejak saat itu, sebuah pengadilan baru yang sangat panjang dilakukan untuk Ján yang berlangsung hingga akhir tahun 1959. Dia dikurung di sel isolasi selama berbulan-bulan, tanpa kontak dengan siapa pun kecuali tatapan dari lubang intip para sipir. Itu sangat mengerikan. Menurut laporan medis Dr Katarina Sedláková, para sipir mungkin memberinya obat-obatan tanpa sepengetahuannya. Maka, antara 20 dan 25 Februari 1959, ketahanan psikologisnya yang kuat pun runtuh dan ia dirawat di bangsal psikiatri. Apa yang terjadi di dalam jiwanya selama periode ini tidak mungkin diketahui.

Kehancuran jiwa, yang disebabkan oleh pemisahan antara penjara dan isolasi yang tak berkesudahan, membuatnya mengalami saat-saat yang tak tertahankan. Hanya di dalam Tuhan ia menemukan penghiburan: “Selama berjam-jam penderitaan”, tulisnya, “saya akan berlindung di bawah salib Golgota dan dalam Roh membiarkan darah Kristus mengalir di atas kepala saya, menantikan kesegaran”. Dalam situasi yang penuh gejolak ini, terutama dalam interogasi yang tak berkesudahan dan saat-saat isolasi yang tak kunjung usai, ia mengalami kasih karunia Allah yang melindunginya melalui malaikat pelindungnya: “Malaikat mengelilingi saya dengan lingkaran pelindung sehingga saya hampir tidak terlihat…. Pertahanan Allah begitu kuat sehingga semua serangan tidak berguna dan tanpa hasil”.

Terhadap perlawanannya yang gigih ini, tanggapan dari Dinas Negara adalah likuidasi/pemberesan akhir. Dia dipindahkan dari penjara ke penjara. Setelah Valdice, ia dikirim ke penjara No. 2 di Pankrac dan kemudian ke penjara No. 1 di Ružín di Praha. Apa lagi yang bisa mereka lakukan terhadap pemuda ini, yang saat itu sakit parah dengan penyakit jantung, yang belum pernah mereka lakukan terhadapnya? Mereka telah menghajarnya dengan tendangan hingga ia kehilangan kesadaran. Mereka telah mengurungnya selama berbulan-bulan di ruang isolasi dan membawanya ke ambang skizofrenia. Mereka telah memaksanya bekerja di tempat-tempat yang paling mengerikan. Pada setiap penghakiman dia mengulangi: “Tujuan saya hanya semata-mata religius!”. Akhirnya mereka mengirimnya ke rumah sakit jiwa di Slowakia. Di sana mereka menempatkannya di tempat tidur yang dalam bahasa sehari-hari disebut M.U.K.L. (Muž: manusia – Určený: yang ditakdirkan – K: untuk – Likvidaci: dilikuidasi).

Pembebasan

Pada bulan Agustus dan September 1962, Ján dibawa ke Brno ke unit perawatan intensif. Nyawanya berhasil diselamatkan. Sebulan kemudian, saat masa hukumannya berakhir, ia dibebaskan di depan pintu penjara. Dia bahkan tidak bisa berdiri. Ia mengenang: “Saya bersandar di dinding sambil menunggu seseorang menolong saya. Orang-orang berlalu lalang di sekitar saya, tetapi tidak ada yang menolong. Seolah-olah saya tidak ada di sana. Akhirnya seorang pria tua lewat yang menyadari bahwa saya adalah seorang lumpuh dan berkata kepada para penjaga: Mengapa Anda tidak menemaninya? Tidakkah kalian lihat dia tidak bisa berdiri?”. Maka mereka membawanya ke stasiun. Saat itu tanggal 29 Oktober 1962.

“Dia meninggal dalam keadaan berdiri”

Tidak lagi bekerja sebagai tenaga kerja di tambang, dia sekarang dibuang oleh rezim penindas yang telah mengasingkannya dari mimpi-mimpi masa mudanya. Selama tiga tahun berada di antara tempat tidur dan rumah sakit dan dengan perawatan ibu dan teman-temannya, Ján dapat pulih.

Namun, maut telah mendekat. Hal itu tertulis di tulang-tulangnya, dalam rematik yang menyakitkan serta menyiksa akibat pekerjaan berat yang melelahkan di penjara. Malam Natal 1965 tiba dan saat makan malam, dia memberikan sambutan singkat: “Kita harus hidup dalam kasih yang dibawa Yesus kepada kita, sehingga persatuan dapat memerintah di antara kita. Dan jika Tuhan menghendaki, kita akan bersama lagi di lain waktu. Saya tidak akan lagi berada di sini!”. Di luar ada angin dingin. Malam itu, keluarga tersebut memutuskan untuk tidak pergi ke misa tengah malam dan tidur. Ketika sang ibu mendengar Janko bangun. Dia bertanya kepadanya: “Mau pergi kemana?” Dia menjawab: “Aku mau pergi ke Misa Tengah Malam!”. “Tapi Janko, bagaimana kamu akan kembali?” kata ibunya, lalu ia menjawab: “Saya akan dibantu oleh angin, sehingga lebih mudah untuk berjalan. Sudah lama aku tidak pergi ke Misa Tengah Malam. Tahun ini aku ingin pergi.”

Pada tanggal 27 Desember, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Dia hanya berhasil sampai di depan rumah Dr Barat. Dia melepas kacamata dan sarung tangannya dan bersandar di tempat sampah. Ketika Dr Barat melihatnya, ia bergegas menghampiri dan dengan bantuan orang yang lewat membawanya masuk ke dalam rumah. Dan di sanalah dia meninggal. Ia berusia 37 tahun.

Dalam proses beatifikasi, para dokter sepakat bahwa kematiannya disebabkan oleh perlakuan tidak manusiawi yang dideritanya selama bertahun-tahun di penjara. Dan para konsultor-teolog mengakui bahwa hukuman yang dideritanya dilakukan atas dasar kebencian terhadap iman dan oleh karena itu kematiannya harus dianggap sebagai kemartiran yang otentik.

Ada kemartiran yang berlangsung dalam sekejap mata dengan sebuah peluru yang masuk ke dalam tubuh, tetapi kemartiran Ján berlangsung selama sebelas tahun. Praktis sepertiga dari hari-harinya, menanggung segala macam penderitaan di penjara. Dalam situasi itu hanya imanlah yang menopangnya.

Ditulis dalam Bahasa Italia oleh: P. Erminio Antonello CM,

dengan judul asli: “Ján Havlík, Seminarista Vincenziano, Martire di Cristo” pada Majalah Informazione Vincenziana. Rivista dei Vincenziani D’Italia, edisi XXV 7/8-2024, pp. 15-18.

Diiterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan ijin penulis oleh: Rm. Daniel Ortega Galed CM