Sadar Budi, Hati, dan Diri

0
626

21 Februari 2021 HARI MINGGU PRAPASKAH I(U)

Kej. 9:8-15; 1Ptr. 3:18-22; Mrk. 1:12-15.

Fr. Bonifasius Nico Prasetya CM

Masa prapaskah ini memberikan lonceng pengingat untuk sadar akan relasi manusia dengan Allah. Kesadaran akan relasi manusia dengan Allah menandakan adanya kesadaran budi, hati, dan diri. Relasi dengan Allah berhubungan erat dengan budi, hati, dan diri sebagai umat-Nya yang berziarah di dunia ini. Berangkat dari semua itu, muncul suatu pertanyaan, apakah budi, hati, dan diri kita sudah bersih, ataukah dipenuhi dengan noda oleh karena budi, hati, dan diri kita dipenuhi dengan keegoisan yang mengundang dosa?

Keegoisan yang kerapkali datang lantaran manusia cenderung menjadikan dirinya sebagai pusat dari segala kebenaran. Akibatnya ia selalu ingin menang sendiri, menjatuhkan orang lain, tidak peduli dengan sesama, dan pemanjaan diri yang berlebihan hingga melupakan kewajiban kita baik di dalam Gereja maupun masyarakat. Semua itu adalah beberapa bentuk dari sikap egois manusia.

Pemanjaan diri yang berlebihan membuat manusia jauh dari Allah. Hal itu disebabkan oleh rasa egois ketika manusia jatuh pada pemanjaan diri. Secara tidak langsung, manusia yang demikian telah mengabdikan dirinya kepada kesenangan duniawi. Jika manusia tidak bisa mengontrol dirinya, perlahan ia akan jauh dari Allah. Manusia mengalami kesulitan untuk hidup sesuai dengan cita-cita Injili. Dalam situasi yang seperti ini manusia berada dalam relasi yang jauh dengan Allah. Cita-cita injili bisa dikatakan merupakan suatu sikap benar untuk menyambut kedatangan kerajaan Allah. Dalam bacaan pertama Nuh telah menerima tanda dari Allah mengenai perjanjian Allah kepada manusia. Perjanjian Allah pada manusia itu dilukiskan dengan penuh kasih bahwa Allah tidak akan mendatangkan air bah kembali ke dalam dunia.

Kerajaan Allah itu telah dinyatakan oleh Kristus dalam Sabda dan Tindakan-Nya. Segala ucapan-Nya mendatangkan berkat dan perbuatan-Nya mendatangkan kesembuhan. Pribadi Tuhan Yesus menjadi kompas bagi manusia dalam bersikap menyambut datangnya Kerajaan Allah. Kisah Yesus yang telah dicobai oleh Iblis di padang gurun merupakan suatu contoh sikap ugahari atau matiraga terhadap segala kenikmatan duniawi. Iblis menggoda manusia lewat segala kemegahan dan kenikmatan dunia. Apabila manusia jatuh ke dalam godaan itu, manusia akan dijauhkan dari Allah. Kristus menjadi pedoman bagi kita semua agar kita tidak menghambakan diri kepada dunia, Kristus telah mengajarkan kesetiaan kepada Allah dalam segala kondisi apapun. Kesetiaan yang diajarkan-Nya kepada kita merupakan kesetiaan kepada apa yang luhur. Kesetiaan itu akan mendatangkan keselamatan bagi umat manusia.

Kita semua, umat manusia dianjurkan untuk senantiasa bersiap menyambut Kerajaan Allah dan mewartakan Kerajaan Allah itu. Pewartaan itu bisa kita lakukan dengan sikap dan perilaku kita yang penuh kasih kepada sesama. Di masa covid-19 ini, kita diharapkan bisa mengaplikasikan kesadaran budi, hati, dan diri melalui kepedulian dengan sesama. Kepedulian itu bisa berupa taat kepada protokol Kesehatan. Hal itu merupakan bentuk dari kasih kepada sesama karena dengan demikian kita saling menjaga dan mengasihi. Kita sebagai umat Allah diharapkan bisa mewartakan Kerajaan Allah dengan tindakan kita yang mendatangkan kasih dan kesembuhan bagi sesama. Panggilan yang saya jalani ini, juga merupakan perjuangan saya sebagai manusia untuk meneladani Kristus yang adalah Kerajaan Allah itu sendiri. Saya sebagai manusia juga tidak pernah luput dari dosa dan kelemahan. Tetapi yang terpenting, saya tetap berusaha sadar dan kembali kepada Allah Sang Keselamatan.

#VinsensianIndonesia

#visabisa

https://www.instagram.com/p/CLjI_tOMhZs/