Selalu Terkenang Skuter Tua dan Rawon
Ada banyak memori yang tertinggal di Jawa Timur. Karena itu, meski sudah berada di tanah kelahiran, Belanda, Romo Hendrikus Antonius Maessen CM tetap ”pulang kampung”. Pada Jumat (23/5), dia sambangi tempat-tempat yang masih tersimpan pada ruang khusus memorinya.
PRISKA BIRAHY
—
ROMO Hendrikus Antonius Maessen CM sudah berada di Indonesia pada Januari 1965. Tujuan pertama tugas pelayanannya adalah Blitar. Kala itu, pastor yang belum genap 29 tahun tersebut bertugas di Blitar selama dua tahun.
Setelah itu, Romo Maessen ditugaskan ke Paroki Santa Maria Tak Bercela (SMTB), Ngagel Madya. ”Dulu, di sini semua masih sawah. Penduduk masih sedikit,” katanya. Gereja Paroki SMTB pun masih berwujud rumah sederhana. Tapi, di tempat bersahaja itulah, romo kelahiran 4 Juli 1936 tersebut menciptakan prasasti-prasasti indah.
”Saya berpikir untuk membangun sekolah. Tapi, saya tidak punya uang sama sekali,” katanya saat diwawancarai di SMAK St Hendrikus, Jumat (23/5). Karena itu, Romo Maessen dan warga pun bergotong royong mencari fulus. Caranya, mereka menggelar bazar di Ngagel Madya. Yang dijual adalah aneka kudapan. Komoditas itu, kata Romo Maessen, paling disukai orang sehingga mendatangkan banyak rupiah.
Rutin berjualan dengan bantuan sejumlah donasi, romo dan warga paroki pun bisa mendirikan SMP Santa Clara. Selain itu, pelan-pelan, mereka juga membangun gereja dan gedung paroki. Sebab, gedung paroki memang masih berwujud rumah yang atapnya bocor di sana-sini. ”Kalau ke gereja, umat harus pakai baju renang. Banyak air yang masuk,” guraunya.
Dengan skuter kesayangannya, Romo Maessen berkeliling ke sejumlah sudut kota, mulai pukul 13.00-17.00, untuk mencari harga bahan bangunan yang paling murah. Dengan skuter abu-abu itu pula, dia berkeliling mencari gragal (sisa bahan bangunan) yang masih bisa dipakai. Layaknya pencari besi tua, Romo Maessen berkeliling terus demi mendirikan tempat ibadah yang lebih layak.
Pada 1967-1969, pembangunan gereja plus SMP Santa Clara berlangsung. Enam kelas pun komplet. ”Awalnya, kami juga pakai tiga ruang kelas sebagai gereja,” ucapnya.
Kian lama, umat bertambah. Gedung gereja pun mengalami beberapa renovasi. SMP Santa Clara juga semakin besar. Lalu, lantaran banyaknya permintaan dari umat yang ingin meneruskan ke SMA, dibangunlah SMAK St Hendrikus pada 1983.
Saat baru berdiri, SMAK St Hendrikus sudah cukup mencuri perhatian. Ia punya sebuah kelas berisi 40 unit komputer. ”Dulu, itu fasilitas mewah. Belum ada yang punya,” ujarnya. Sampai saat ini, Romo Maessen merahasiakan siapa donatur dan bagaimana cara mendapatkan komputer tersebut. ”Itu memang rahasia. Ya, saya memang jago soal itu (diplomasi, Red),” katanya.
Tapi, pada tahun tersebut pula, 1983, Romo Maessen harus meninggalkan Surabaya, kota penuh kenangan tersebut. Artinya, dia juga tidak bisa menyaksikan berdirinya sekolah yang dirintisnya bersama segenap umat itu. Dia pulang ke Belanda. ”Saya sakit liver. Jadi, lebih baik saya berobat supaya tidak parah,” ungkapnya.
Sejak itulah, Romo dari ordo (tarekat) Congregatio Missionis itu tinggal lagi di tanah kelahirannya. Dia baru datang lagi ke Surabaya pada 2009 untuk melihat sekolah dan gereja yang dulu dibidaninya.
Saat ini, dalam usia yang sudah 77 tahun, Romo Maessen menyambangi lagi Surabaya. Dia ”pulang kampung” untuk merayakan tahun emas imamat atau 50 tahun mengabdi sebagai pastor.
Ya, Indonesia memang tak pernah dilupakannya. ”Setiap ke Indonesia, saya mampir makan rawon di Malang,” katanya. Tentu, kenangan soal skuter tua juga tak bakal hilang. Skuter serupa ditaruh di kapel SMAK St Hendrikus untuk menyambut romo kesayangan itu. (bir/c17/dos)